ALIRAN – ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN
Makalah ini disusun untuk memenuhi
tugas idividu Mata Kuliah
Filsafat Pendidikan Islam
Dosen Pengampu: Drs. H. Djoko
Waluyo, M.Pd
Disusun Oleh:
Rovi Sulistiono ( 2124669 ) PAI 2 C
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
NAHDLATUL ULAMA ( STAINU ) KEBUMEN
TAHUN AKADEMIK 2012/2013
A. Aliran
Progressivisme
Aliran Progressivisme adalah suatu aliran yang sangat
berpengaruh di abad ke-20 ini. Pengaruh ini sangat terasa sekalli khususnya di
Amerika Serikat. Usaha pembaharuan dalam dunia pendidikan pada umumnya
terdorong oleh aliran Progressivisme ini. Biasanya aliran ini dihubungkan
dengan pandangan hidup liberal –“The liberal road to culture”.
Aliran progresivisme mengakui dan berusaha mengembangkan asas
progesivisme dalam sebuah realita kehidupan, agar manusia bisa survive menghadapi
semua tantangan hidup. Dinamakan instrumentalisme, karena aliran ini
beranggapan bahwa kemampuan intelegensi manusia sebagai alat untuk hidup, untuk
kesejahteraan dan untuk mengembangkan kepribadiaan manusia. Dinamakan eksperimentalisme,
karena aliran ini menyadari dan mempraktikkan asas eksperimen untuk menguji
kebenaran suatu teori. Dan dinamakan environmentalisme, Karena aliran
ini menganggap lingkungan hidup itu memengaruhi pembinaan kepribadiaan
(Muhammad Noor Syam, 1987: 228-229)
Aliran progesivisme telah memberikan sumbangan yang besar
di dunia pendidikan saat ini. Aliran ini telah meletakkan dasar-dasar kemerdekaan
dan kebebasan kepada anak didik. Anak didik diberikan kebaikan baik secara
fisik maupun cara berpikir, guna mengembangkan bakat dan kemampuan yang
terpendam dalam dirinya tanpa terhambat oleh rintangan yang dibuat oleh orang
lain (Ali, 1990: 146). Oleh karena itu, filsafat progesivisme tidak menyetujui
pendidikan yang otoriter.
Dengan demikian, sekolah yang ideal adalah sekolah yang
isi pendidikannya berintegrasi dengan lingkungan sekitar. Karena sekolah adalah
bagian dari masyarakat. Dan untuk itu, sekolah harus dapat mengupyakan
pelestarian karakteristik atau kekhasan lingkungan sekolah sekitar atau daerah
di mana sekolah itu berada. Untuk dapat melestarikan usaha ini, sekolah harus
menyajikan program pendidikan yang dapat memberikan wawasan kepada anak didik
tentang apa yang menjadi karakteristik atau kekhususan daerah itu. Untuk
itulah, fisafat progesivisme menghendaki sis pendidikan dengan bentuk belajar
“sekolah sambil berbuat” atau learning by doing (Zuhairini, 1991: 24).
Sifat-sifat aliran Progressivisme
1) Sifat-sifat Negatif, dalam artian bahwa, Progressivisme
menolak otoritarisme dan absolutisme dalam segala bentuk, seperti terdapat
dalam agama, politik, etika dan epitemologi.
2) Sifat-sifat Positif, dalam arti bahwa Progressivisme
menaruh kepercayaan terhadap kekuatan alamiah dari manusia, kekuatan-kekuatan
yang diwarisi oleh manusia dari alam sejak lahir.
Maka tugas pendidikan menurut pragmatisme, ialah meneliti
sejelas-jelasnya kesanggupan-kesanggupan manusia itu dan menguji kesanggupan-kesanggupan
itu dalam pekerjaan praktis.
Perkembangan aliran Progressivisme
Dalam asas
modern – sejak abad ke-16 Francis Bacon, John Locke, Rousseau, Kant dan Hegel
dapat dapat disebut sebagai penyumbang-penyumbang dalam proses terjadinya
aliran pragmatisme-Progressivisme. Dalam abad ke-19 dan ke-20 ini tokoh-tokoh
pragmatisme terutama terdapat di Amerika Serikat. Thomas Paine dan Thomas
Jefferson memberikan sumbangan pada pragmatisme karena kepercayaan mereka
akan demokrasi dan penolakan terhadap sikap dogmatis, terutama dalam agama.
Keyakinan-keyakinan Progressivisme tentang pendidikan
John Dewey memandang bahwa pendidikan sebagai proses dan
sosialisasi (Suwarno, 1992: 62-63). Maksudnya sebagai proses pertumbuhan anak
didik dapat mengambil kejadian-kejadian dari pengalaman lingkungan sekitarnya.
Maka dari itu, dinding pemisah antara sekolah dan masyarakat perlu dihapuskan,
sebab belajar yang baik tidak cukup di sekolah saja.
Dengan demikian, sekolah yang ideal adalah sekolah yang
isi pendidikannya berintegrasi dengan lingkungan sekitar. Karena sekolah adalah
bagian dari masyarakat. Dan untuk itu, sekolah harus dapat mengupyakan
pelestarian karakteristik atau kekhasan lingkungan sekolah sekitar atau daerah
di mana sekolah itu berada. Untuk dapat melestarikan usaha ini, sekolah harus
menyajikan program pendidikan yang dapat memberikan wawasan kepada anak didik
tentang apa yang menjadi karakteristik atau kekhususan daerah itu. Untuk
itulah, fisafat progesivisme menghendaki sis pendidikan dengan bentuk belajar
“sekolah sambil berbuat” atau learning by doing (Zuhairini, 1991: 24).
Dengan kata lain akal dan kecerdasan anak didik harus
dikembangkan dengan baik. Perlu diketahui pula bahwa sekolah tidak hanya
berfungsi sebagai pemindahan pengetahuan (transfer of knowledge),
melainkan juga berfungsi sebagai pemindahan nilai-nilai (transfer of value),
sehingga anak menjadi terampildan berintelektual baik secara fisik maupun
psikis. Untuk itulh sekat antara sekolah dengan masyarakat harus
dihilangkan.
B. Aliran
Esensialisme
Aliran esensialisme merupakan aliran pendidikan yang
didasarkan pada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat
manusia. Esensialisme muncul pada zaman Renaisance
dengan cirri-cirinya yang berbeda dengan progesivisme. Dasar pijakan aliran ini
lebih fleksibel dan terbuka untuk perubahan, toleran, dan tidak ada keterkaitan
dengan doktrin tertentu. Esensiliasme memandang bahwa pendidikan harus berpijak
pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama, yang meberikan
kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata yang jelas (Zuhairini,
1991: 21).
Idealisme, sebagai filsafat hidup, memulai tinjauannya
mengenai pribadi individu dengan menitikberatkan pada aku. Menurut idealisme,
pada tarap permulaan seseorang belajar memahami akunya sendiri, kemudian ke
luar untuk memahami dunia objektif. Dari mikrokosmos menuju ke makrokosmos.
Menurut Immanuel Kant, segala pengetahuan yang dicapai manusia melalui indera
memerlukan unsure apriori, yang tidak didahului oleh pengalaman lebih dahulu.
Bila orang berhadapan dengan benda-benda, bukan berarti
semua itu sudah mempunayi bentuk, ruang, dan ikatan waktu. Bentuk, ruang , dan
waktu sudah ada pada budi manusia sebelum ada pengalaman atu pengamatan. Jadi,
apriori yang terarah bukanlah budi pada benda, tetapi benda-benda itu yang
terarah pada budi. Budi membentuk dan mengatur dalam ruang dan waktu. Dengan
mengambil landasan pikir tersebut, belajar dapat didefinisikan sebagai
substansi spiritual yang membina dan menciptakan diri sendiri (Poedjawijatna,
1983: 120-121).
Roose L. finney, seorang ahli sosiologi dan filosof,
menerangkan tentang hakikat sosial dari hidup mental. Dikatakan bahwa mental
adalah keadaan rohani yang pasif, hal ini berarti bahwa manusia pada umumnya
menerima apa saja Yng telah ditentukan dan diatur oleh alam social. Jadi,
belajar adalah menerima dan mengenal secara sungguh-sungguh nilai-nilai social
angkatan baru yang timbul untuk ditambah, dikurangi dan diteruskan pada
angkatan berikutnya.
Selain itu juga di warnai dengan pandangan-pandangan dari
paham penganut aliran idealisme dan realisme. Imam Bernadib (1981), menyebutkan beberapa tokoh utama yang berperan dalam
penyebaran aliran esensialisme, yaitu:
1. Desiderius
Erasmus, humananis Belanda yang hidup pada akhir abad 15 dan
permulaan abad 16, yang merupakan tokoh pertama yang menolak pandangan hidup
yang berpijak pada dunia lain.
2. Johann Amos
Comenius yang hidup diseputar tahun 1592-1670, adalah seorang
yang memiliki pandangan realis dan dogmatis. Comenius berpendapat bahwa
pendidikan mempunyai peranan membentuk anak sesuai dengan kehendak Tuhan,
karena pada hakikatnya dunia adalah dinamis dan bertujuan.
3. Johann
Friederich Herbert yang hidup pada tahun 1776-1841, sebagais alah seorang
murid Immanuel Kant yang berpendapat dengan kritis, herbert berpendapat bahwa
tujuan pendidikan adalah menyesuaikan jiwa seseorang dengan kebajikan dari yang
Mutlak dalam arti penyesuaian dengan hukum-hukum kesusilaan dan inilah yang
disebut proses pencapaian tujuan pendidikan oleh Herbert sebagai ‘pengajaran
yang mendidik’.
Tujuan umum aliran esensialisme adalah membentuk pribadi
bahagia di dunia dan hakikat. Isi pendidikannya mencakup ilmu pengetahuan,
kesenian dan segala hal yang mampu menggerakan kehendak manusia. Kurikulum
sekolah bagi esensialisme merupakan semacam miniatur dunia yang bisa dijadikan
sebagai ukuran kenyataan, kebenaran dan kegunaan.
C. Aliran
Perennialisme
Perennialisme diambil dari kata perennial, yang artinya
kekal dan abadi, dari makna yang terkandung dalam kata itu’ aliran
Perennialisme mengandung kepercayaan filsafat yang berpegang teguh pada
nilai-nilai dan norma-norma yang bersifat kekal abadi.
Perenialisme memandang pendidikan sebagai jalan kembali
atau proses mengembalikan keadaan sekarang kepada masa lampau. Perenialisme
memberikan sumbangan yang berpengaruh baik teori maupun praktik bagi kebudayaan
dan pendidikan zaman sekarang (Muhammad Noor Syam, 1986: 154). Dari pendapat
ini diketahui bahwa perenialisme merupakan hasil pemikiran yang memberikan
kemungkinan bagi seorang untuk bersikap tegas dan lurus. Karena itulah,
perenialisme berpendapat bahwa mencari dan menemukan arah tujuan yang jelas
merupakan tugas yang utama dari filsafat, khususnya filsafat pendidikan.
Menurut perenialisme, ilmu pengetahuan merupakan filsafat
yang tertinggi, karena dengan ilmu pengetahuanlah seseorang dapat berpikir
secara induktif. Jadi, dengan berpikir maka kebenaran itu akan dapat
dihasilkan. Penguasaan pengetahuan mengenai prinsip-prinsip pertama adalah
modal bagi seseorang untuk mengembangkan pikiran dan kecerdasan. Dengan
pengetahuan, bahan penerangan yang cukup, orang akan mampu mengenal dan
memahami factor-faktor dan problema yang perlu diselesaikan dan berusaha
mengadakan penyelesaian masalahnya.
Diharapkan anak didik mampu mengenal dan mengembangkan
karya-karya yang menjadi landasan pengembangan disiplin mental. Karya-karya ini
merupakan buah pikiran besar pada masa lampau. Berbagai buah pikiran mereka
yang oleh zaman telah dicatat menonjol seperti bahasa, sastra, sejarah,
filsafat, politik, ekonomi, matematika, ilmu pengetahuan alam, dan
lain-lainnya, yang telah banyak memberikan sumbangan kepada perkembangan zaman
dulu.
Tugas utama pendidiakn adalah mempersiapkan anak didik ke
arah kematangan. Matang dalam arti hidup akalnya. Jadi, akal inilah yang perlu
mendapat tuntunan ke arah kematangan tersebut. Sekolah rendah memberikan
pendidikan dan pengetahuan serba dasar. Dengan pengetahuan yang tradisional
seperti membaca, menulis, dan berhitung, anak didik memperoleh dasar penting
bagi pengetahuan-pengetahuan yang lain.
Sekolah, sebagai tempat utama dalam pendidikan,
mempesiapkan anak didik ke arah kematangan akal dengan memberikan pengetahuan.
Sedangkan tugas utama guru adalah memberikan pendidikan dan pengajaran
(pengetahuan) kepada anak didik. Dengan kata lain, keberhasilan anak dalam
bidang akalnya sangat tergantung kepada guru, dalam arti orang yang telah
mendidik dan mengajarkan.
Prinsip-prinsip pendidikan Perennialisme
Di bidang pendidikan,
Perennialisme saangat dipengaruhi oleh: Plato, Aristoteles, dan Thomas Aquinas.
Dalam hal ini pokok pikiran Plato tentang ilmu pengetahuan dan nilai-nilai
adalah manifestasi daripada hukum universal. Maka tujuan utama pendidikan
adalah “ membina pemimpin yang sadar dan mempraktekan asas-asas normatif itu
dalam semua aspek kehidupan.
Menurut Plato, manusia secara
kodrati memiliki tiga potensi, yaitu : nafsu, kemauan, dan pikiran. Bagi
Aristoteles, tujuan pendidikan adalah ‘kebahagiaan”. Untuk mencapai tujuan
pendidikan itu, maka aspek jasmani, emosi, dan intelek harus dikembangkan
secara seimbang.
Seperti halnya Plato dan Aristoteles, tujuan pendidikan
yang diinginkan oleh Thomas Aquinas adalah sebagai “Usaha mewujudkan kapasitas
yang ada dalam individu agar menjadi aktualitas” aktif dan nyata. Dalam hal ini
peranan guru adalah mengajar – memberi bantuan pada anak didik untuk
mengembangkan potensi-potensi yang ada pada dirinya.
D. Aliran
Rekontruksionalisme
Kata Rekonstruksionisme bersal dari bahasa Inggris reconstruct,
yang berarti menyusun kembali. Dalam konteks filsafat pendidikan,
rekonstruksionisme merupakan suatu aliran yang berusaha merombak tata susunan
hidup kebudayaan yang bercorak modern. Aliran rekonstruksionisme pada prinsipnya
sepaham dengan aliran perenialisme, yaitu berawal dari krisis kebudayaan
modern. Menurut Muhammad Noor Syam (1985: 340), kedua aliran tersebut memandang
bahwa keadaan sekarang merupakan zaman yang mempumyai kebudayaan yang terganggu
oleh kehancuran, kebingungan, dan kesimpangsiuran.
Aliran rekonstruksionisme berkeyakinan bahwa tugas
penyelamatan dunia merupakan tugas semua umat manusia. Karenanya, pembinaan
kembali daya intelektual dan spiritual yang sehat melalui pendidikan yang tepat
akan membina kembali manusia dengan nilai dan norma yang benar pula demi
generasi yang akan datang, sehingga terbentuk dunia baru dalam pengawasan umat
manusia.
Di samping itu, aliran ini memiliki persepsi bahwa masa
depan suatu bangsa merupakan suatu dunia yang diatur dan diperintah oleh rakyat
secara demokratis, bukan dunia yang dikuasai oleh golongan tertentu. Cita-cita
demokrasi yang sesungguhnya tidak hanya teori, tetapi mesti diwujudkan menjadi
kenyataan, sehingga mampu meningkatkan kualitas kesehatan, kesejahteraan dan
kemakmuran serta keamanan masyarakat tanpa membedakan warna kulit,, keturunan,
nasionalisme, agama (kepercayaan) dan masyarakat bersangkutan.
E. Aliran
Eksistensialisme
Eksistensialisme bisa dialamatkan sebagai saanlah satu
reaksi dari sebagian terbesar reaksi terhadap peradaban manusia yang hampir
punah akibat perang dunia kedua. Dengan demikian
Eksistensialisme pada hakikatnya adalah merupakan aliran filsafat yang
bertujuan mengembalikan keberadaan umat manusia sesuai dengan keadaan hidup
asasi yang dimiliki dan dihadapinya.
Secara singkat Kierkegaard memberikan pengertian
Eksistensialisme adalah suatu penolakan terhadap suatu pemikiran abstrak, tidak
logis atau tidak ilmiah. Eksistensialisme menolak segala bentuk kemutlakan
rasional. Dengan demikian aliran ini hendak memadukan
hidup yang dimiliki dengan pengalaman, dan siuasi sejarah yang dialami, dan
tidak mau terikat oleh hal-hal yang sifatnya abstrak serta spekulatif. Baginya,
segala sesuatu dimulai dari pengalaman pribadi, keyakinan yang tumbuh dari
dirinya dan kemampuan serta keluasan jalan untuk mencapai keyakinan hidupnya.
Atas dasar pandangan itu, sikap dikalangan kaum
Eksistensialisme atau penganut aliran ini seringkali nampak aneh atau lepas
dari norma-norma umum. Kebebasan untuk freedom to, adalah lebih banyak menjadi
ukuran dalam sikap dan perbuatannya.
Pandangannya tentang pendidikan, disimpulkan oleh Van
Cleve Morries dalam Existentialism dan Education, bahwa ”
Eksistensialisme tidak menghendaki adanya aturan-aturan pendidikan dalam segala
bentuk” oleh sebab itu Eksistensialisme
dalam hal ini menolak bentuk –bentuk pendidikan sebagaimana yang ada sekarang.
F. Aliran
Idealisme
Tokoh aliran idealisme adalah Plato (427-374 SM), murid
Sokrates. Aliran idealisme merupakan suatu aliran ilmu filsafat yang
mengagungkan jiwa. Menurutnya, cita adalah gambaran asli yang semata-mata
bersifat rohani dan jiwa terletak di antara gambaran asli (cita) dengan
bayangan dunia yang ditangkap oleh panca indera. Pertemuan antara jiwa dan cita
melahirkan suatu angan-angan yaitu dunia idea. Aliran ini memandang serta
menganggap bahwa yang nyata hanyalah idea. Idea sendiri selalu tetap atau tidak
mengalami perubahan serta penggeseran, yang mengalami gerak tidak dikategorikan
idea.
Keberadaan idea tidak tampak dalam wujud lahiriah, tetapi
gambaran yang asli hanya dapat dipotret oleh jiwa murni. Alam dalam pandangan
idealisme adalah gambaran dari dunia idea, sebab posisinya tidak menetap.
Sedangkan yang dimaksud dengan idea adalah hakikat murni dan asli.
Keberadaannya sangat absolut dan kesempurnaannya sangat mutlak, tidak bisa
dijangkau oleh material. Pada kenyataannya, idea digambarkan dengan dunia yang
tidak berbentuk demikian jiwa bertempat di dalam dunia yang tidak bertubuh yang
dikatakan dunia idea.
Plato yang memiliki filsafat beraliran idealisme yang
realistis mengemukakan bahwa jalan untuk membentuk masyarakat menjadi stabil
adalah menentukan kedudukan yang pasti bagi setiap orang dan setiap kelas
menurut kapasitas masin-masing dalam masyarakat sebagai keseluruhan. Mereka
yang memiliki kebajikan dan kebijaksanaan yang cukup dapat menduduki posisi
yang tinggi, selanjutnya berurutan ke bawah. Misalnya, dari atas ke bawah,
dimulai dari raja, filosof, perwira, prajurit sampai kepada pekerja dan budak.
Yang menduduki urutan paling atas adalah mereka yang telah bertahun-tahun
mengalami pendidikan dan latihan serta telah memperlihatkan sifat
superioritasnya dalam melawan berbagai godaan, serta dapat menunjukkan cara
hidup menurut kebenaran tertinggi.
Mengenai kebenaran tertinggi, dengan doktrin yang
terkenal dengan istilah ide, Plato mengemukakan bahwa dunia ini tetap dan
jenisnya satu, sedangkan ide tertinggi adalah kebaikan. Tugas ide adalah
memimpin budi manusia dalam menjadi contoh bagi pengalaman. Siapa saja yang
telah menguasai ide, ia akan mengetahui jalan yang pasti, sehingga dapat
menggunakan sebagai alat untuk mengukur, mengklasifikasikan dan menilai segala
sesuatu yang dialami sehari-hari.
Kadangkala dunia idea adalah pekerjaan norahi yang berupa
angan-angan untuk mewujudkan cita-cita yang arealnya merupakan lapangan
metafisis di luar alam yang nyata. Menurut Berguseon, rohani merupakan sasaran
untuk mewujudkan suatu visi yang lebih jauh jangkauannya, yaitu intuisi dengan
melihat kenyataan bukan sebagai materi yang beku maupun dunia luar yang tak
dapat dikenal, melainkan dunia daya hidup yang kreatif (Peursen, 1978:36).
Aliran idealisme kenyataannya sangat identik dengan alam dan lingkungan
sehingga melahirkan dua macam realita. Pertama, yang tampak yaitu apa yang
dialami oleh kita selaku makhluk hidup dalam lingkungan ini seperti ada yang
datang dan pergi, ada yang hidup dan ada yang demikian seterusnya. Kedua,
adalah realitas sejati, yang merupakan sifat yang kekal dan sempurna (idea),
gagasan dan pikiran yang utuh di dalamnya terdapat nilai-nilai yang murni dan
asli, kemudian kemutlakan dan kesejatian kedudukannya lebih tinggi dari yang
tampak, karena idea merupakan wujud yang hakiki.
Prinsipnya, aliran idealisme mendasari semua yang ada.
Yang nyata di alam ini hanya idea, dunia idea merupakan lapangan rohani dan
bentuknya tidak sama dengan alam nyata seperti yang tampak dan tergambar.
Sedangkan ruangannya tidak mempunyai batas dan tumpuan yang paling akhir dari
idea adalah arche yang merupakan tempat
kembali kesempurnaan yang disebut dunia idea dengan Tuhan, arche, sifatnya kekal dan sedikit pun tidak
mengalami perubahan.
Inti yang terpenting dari ajaran ini adalah manusia
menganggap roh atau sukma lebih berharga dan lebih tinggi dibandingkan dengan
materi bagi kehidupan manusia. Roh itu pada dasarnya dianggap suatu hakikat
yang sebenarnya, sehingga benda atau materi disebut sebagai penjelmaan dari roh
atau sukma. Aliran idealisme berusaha menerangkan secara alami pikiran yang
keadaannya secara metafisis yang baru berupa gerakan-gerakan rohaniah dan
dimensi gerakan tersebut untuk menemukan hakikat yang mutlak dan murni pada
kehidupan manusia. Demikian juga hasil adaptasi individu dengan individu
lainnya. Oleh karena itu, adanya hubungan rohani yang akhirnya membentuk
kebudayaan dan peradaban baru (Bakry, 1992:56). Maka apabila kita menganalisa
pelbagai macam pendapat tentang isi aliran idealisme, yang pada dasarnya
membicarakan tentang alam pikiran rohani yang berupa angan-angan untuk
mewujudkan cita-cita, di mana manusia berpikir bahwa sumber pengetahuan
terletak pada kenyataan rohani sehingga kepuasaan hanya bisa dicapai dan
dirasakan dengan memiliki nilai-nilai kerohanian yang dalam idealisme disebut
dengan idea.
Memang para filosof ideal memulai sistematika berpikir
mereka dengan pandangan yang fundamental bahwa realitas yang tertinggi adalah
alam pikiran (Ali, 1991:63). Sehingga, rohani dan sukma merupakan tumpuan bagi
pelaksanaan dari paham ini. Karena itu alam nyata tidak mutlak bagi aliran idealisme.
Namun pada porsinya, para filosof idealisme mengetengahkan berbagai macam
pandangan tentang hakikat alam yang sebenarnya adalah idea. Idea ini digali
dari bentuk-bentuk di luar benda yang nyata sehingga yang kelihatan apa di
balik nyata dan usaha-usaha yang dilakukan pada dasarnya adalah untuk mengenal
alam raya. Walaupun katakanlah idealisme dipandang lebih luas dari aliran yang
lain karena pada prinsipnya aliran ini dapat menjangkau hal-ihwal yang sangat
pelik yang kadang-kadang tidak mungkin dapat atau diubah oleh materi,
Sebagaimana Phidom mengetengahkan, dua prinsip pengenalan dengan memungkinkan
alat-alat inderawi yang difungsikan di sini adalah jiwa atau sukma. Dengan
demikian, dunia pun terbagi dua yaitu dunia nyata dengan dunia tidak nyata,
dunia kelihatan (boraton genos) dan dunia yang
tidak kelihatan (cosmos neotos). Bagian ini
menjadi sasaran studi bagi aliran filsafat idealisme (Van der Viej, 2988:19).
Plato dalam mencari jalan melalui teori aplikasi di mana
pengenalan terhadap idea bisa diterapkan pada alam nyata seperti yang ada di
hadapan manusia. Sedangkan pengenalan alam nyata belum tentu bisa mengetahui
apa di balik alam nyata. Memang kenyataannya sukar membatasi unsur-unsur yang
ada dalam ajaran idealisme khususnya dengan Plato. Ini disebabkan aliran
Platonisme ini bersifat lebih banyak membahas tentang hakikat sesuatu daripada
menampilkannya dan mencari dalil dan keterangan hakikat itu sendiri. Oleh
karena itu dapat kita katakan bahwa pikiran Plato itu bersifat dinamis dan tetap
berlanjut tanpa akhir. Tetapi betapa pun adanya buah pikiran Plato itu maka
ahli sejarah filsafat tetap memberikan tempat terhormat bagi sebagian pendapat
dan buah pikirannya yang pokok dan utama.
Antara lain Betran Russel berkata: Adapun buah pikiran
penting yang dibicarakan oleh filsafat Plato adalah: kota utama yang merupakan
idea yang belum pernah dikenal dan dikemukakan orang sebelumnya. Yang kedua,
pendapatnya tentang idea yang merupakan buah pikiran utama yang mencoba
memecahkan persoalan-persoalan menyeluruh persoalan itu yang sampai sekarang
belum terpecahkan. Yang ketiga, pembahasan dan dalil yang dikemukakannya
tentang keabadian. Yang keempat, buah pikiran tentang alam/cosmos, yang kelima, pandangannya tentang ilmu
pengetahuan (Ali, 1990:28).
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ajaran filsafat pada dasarnya adalah
hasil pemikiran seseorang atau beberapa orang ahli filsafat tentang sesuatu
secara fundamental. Perbedaan-perbedaan cara dalam meng-approach suatu masalah
akan melahirkan kesimpulan-kesimpulan yang berbeda-beda tentang masalah yang
sama. Perbedaan-perbedaan itu dapat juga disebabkan latar belakang pribadi para
ahli tersebut, di samping pengaruh zaman, kondisi dan alam pikiran manusia di
suatu tempat. Kenyataan-kenyataan itu melatar belakangi perbedaan-perbedaan
tiap-tiap pokok suatu ajaran filsafat. Dan oleh penelitian para ahli kemudian,
ajaran filsafat tersebut disusun dalam satu sistematika dengan kategori
tertentu. Klasifikasi inilah yang melahirkan apa yang kita kenal sebagai suatu aliran.
(sistem) suatu ajaran filsafat. Suatu ajaran filsafat dapat pula sebagai produk
suatu zaman, produk suatu cultural and social matrix. Dengan demikian suatu
ajaran filsafat dapat merupakan reaksi dan aksi atas sesuatu realita di dalam
kehidupan manusia. Filsafat dapat berbentuk cita-cita, idealisme yang secara
radikal berhasrat meninggalkan suatu pola kehidupan tertentu.
Berdasarkan kenyataan sejarah,
filsafat bukanlah semata-mata hasil perenungan, hasil pemikiran kreatif yang
terlepas daripada pra kondisi yang menantang. Paling sedikit, ide-ide filosofis
adalah jawaban terhadap problem yang menentang pikiran manusia, jawaban atas
ketidak tahuan, atau verifikasi tentang sesuatu. Filsafat juga merupakan usaha
meneuhi dorongan-dorongan rasional manusiawi demi kepuasan rohaniah, untuk
kemantangan pribadi, untuk integritas.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Muzayyin, 2004. Filsafat Pendidikan Islam.Jakarta:
Bumi Aksara
http://panjiaromdaniuinpai2e.blogspot.com/2008/06/aliran-aliran-filsafat
pendidikan.html/12/10/2011 (Diposkan oleh panji_aromdani di 21:47 )
Joe Park, Selected Readings in the Philosophy, New
York, Macmillian Publishing Co, Inc. 1974
Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan, Yayasan
Peerbit FIP IKIP, Yogyakarta.
Fernando R. Molina,The Sources of Eksistentialism As
Philosophys, New Jersey, Prentice-Hall-1969, hal, 1
Jan Hendrik Rapar, Pengantar
Filsafat. Yogyakarta, Kanisius, 1996.